ALAT DETEKSI KEBOHONGAN
Beberapa hari ini media menyoroti penggunaan ‘Lie Detector’ untuk mengungkap kebenaran dan kejujuran para tersangka kasus pembunuhan brigadir J. Bisa dipahami jika penyidik harus menggunakan ‘Lie Detector’ karena “Memang lidah tak bertulang, dan tidak terbatas kata kata’. Persoalannya, apakah alat semacam ini bisa akurat untuk orang yang sudah terbiasa berbohong?
Seberapa akurat ‘lie detector’ untuk mengetahui kebohongan dalam diri seseorang? Yang tahu adalah pakarnya dan mereka yang menciptakan alat ini. Doa dan harapan saya, alat yang disebut ‘Polygraph’ itu bisa memberi titik terang sehingga masalah ini segera selesai. Namun saya juga menemukan kebanaran ini. Orang yang tidak biasa dusta, saat berdusta pasti ada rasa tertuduh. Karena dalam diri kita ada ‘hati nurani’ sebagai hakim yang adil. Ia tidak bisa disuap oleh siapapun. Berbahagialah orang yang peka denganhati nuraninya.
Lalu bagaimana dengan orang yang hati nuraninya sudah tumpul? Konon orang yang sudah terbiasa berdusta, ia tidak lagi merasa tertuduh. Orang ini sudah tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang bohong bana yang benar. Saat hati sudah tidak lagi peka dengan kesalahan dan dosa, hati nuraninya sudah tumpul. Bagaikan pisau tumpul sulit dipakai untuk memotong daging. Konon orang yang membiarkan hatinya tumpul bisa kandas imannya. Ini sangat bahaya
Di dalam Alkitab tertulis kisah, Tuhan punya cara untuk menguji kebenaran dan kebohongan. Kasus Ananias dan Safira bisa menjadi bukti bahwa Tuhan bisa memakai orang yang yang hidupnya dipimpin oleh Roh untuk menguji kebenaran dan kebohongan. Tidak ada salahnya menggunakan ‘Lie Detector’, tetapi menurut saya, pera penyidik sebaiknya juga berdoa meminta pimpinan Roh Allah, supaya para tersangka berani berkata jujur dan tidak ada dusta di hati mereka.
Contoh kedua terjadi pada diri pembantu nabi Eliza. Gehasi berdusta kepada sang nabi. Akibat dari dusta itu Gehazi harus menanggung penyakit kutukan. Ia terkena lepra ganas. Ini bukti bahwa Allah masih ‘peduli’ dengan kebenaran. Itulah sebabnya buanglah semua dusta dari hati ini. Sudah banyak bukti bahwa dusta itu menyengsarakan dua belah pihak; yang mendustai dan yang didustai sama sama akan mengalami akibatnya. Tuhan masih bertahta di atas kebenaran.
“Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” (Roma 8:26-27)
